Jumat, 12 September 2025

TELAH TERBIT E-KORAN EDISI AGUSTUS TAHUN 2025

[ E-Koran ]



Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam Pers Mahasiswa! ✊🏻

Dalam perkembangan teknologi yang semakin canggih, membuat koran dapat diakses dimana saja dan kapan saja melalui internet. Maka dengan itu, UKM PersMa Raden Intan dengan bangga kembali menerbitkan "𝗘-𝗞𝗼𝗿𝗮𝗻 𝗘𝗱𝗶𝘀𝗶 𝗩𝗜𝗜𝗜" tahun 2025.

Baca E-Koran selengkapnya:

Kamis, 11 September 2025

PEMBERIAN BINGKISAN SAAT SIDANG, UNGKAPAN TERIMA KASIH ATAU BEBAN MAHASISWA?

[ Opini ]

Sumber: Artificial Intelligence

Fenomena pemberian bingkisan saat sidang mulai dari snack, buah, minuman, hingga makan siang masih menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa karena menimbulkan pertanyaan, apakah ini ungkapan terima kasih atau justru beban finansial? Sidang merupakan momen penting yang kerap disertai tradisi turun-temurun, termasuk penyediaan konsumsi untuk dosen penguji.

Hasil wawancara dengan salah satu mahasiswa menunjukkan bahwa praktik ini lebih tepat disebut kebiasaan, bukan aturan resmi fakultas atau jurusan. Di beberapa jurusan, kebiasaan ini mulai dikurangi, terutama bagi mahasiswa yang tidak merasa “harus” menyiapkan konsumsi. Biasanya, konsumsi berupa snack dan minuman saat seminar, atau tambahan makan siang saat sidang seminar hasil (semhas). Jika bertepatan dengan bulan Ramadan, konsumsi sering diganti dengan bingkisan atau parsel berisi sembako.

Seiring waktu, praktik ini menimbulkan beragam pandangan. Dalam pandangan saya, pemberian konsumsi seharusnya merupakan ungkapan terima kasih, bukan kewajiban. Beberapa dosen menekankan pentingnya keikhlasan mahasiswa dalam memberi. Namun, jika tidak diatur dengan jelas, praktik ini bisa menimbulkan persepsi negatif, seperti "mengapa harus menambah pengeluaran mahasiswa” atau justru terasa seperti pungutan.

Pandangan serupa juga diangkat dalam artikel Mimbar Untan berjudul “Budaya Pemberian Konsumsi di Seminar Skripsi, Antara Terima Kasih atau Gratifikasi?” yang menyebut bahwa praktik pemberian konsumsi bisa dipandang ambigu. Di satu sisi, ia dapat dimaknai sebagai wujud terima kasih mahasiswa kepada dosen penguji. Namun, di sisi lain, tanpa regulasi yang jelas, hal ini bisa disalahartikan sebagai gratifikasi yang memberi kesan tidak sehat dalam dunia akademik.

Di beberapa jurusan, sistem penyediaannya berbeda ada yang diatur dan dibayar bersama, ada yang sepenuhnya diserahkan kepada mahasiswa. Mahasiswa yang diwawancarai menilai sebaiknya kebiasaan ini dipertahankan dengan penegasan bahwa tujuan utamanya adalah ungkapan terima kasih. Jika penegasan tersebut tidak ada, lebih baik kebiasaan ini dihapus agar tidak menimbulkan spekulasi negatif.

Menurut pandangan saya, kebiasaan pemberian konsumsi saat sidang sebaiknya tidak lagi menjadi suatu keharusan. Tradisi ini memang punya sisi positif, yaitu sebagai bentuk apresiasi mahasiswa terhadap dosen penguji. Namun, di era sekarang ketika beban biaya kuliah sudah cukup tinggi, menambahkan kewajiban konsumsi bisa menjadi tekanan tersendiri. 

Saya lebih setuju jika pemberian konsumsi benar-benar bersifat sukarela, sesuai kemampuan mahasiswa, tanpa ada standar tertentu yang menimbulkan rasa tidak enak jika tidak dilakukan. Dengan begitu, pemberian konsumsi tetap bisa menjadi ungkapan terima kasih yang tulus, bukan sesuatu yang dipaksakan atau membebani.

Dengan demikian, berdasarkan hasil wawancara dan pendapat penulis, mahasiswa memiliki kebebasan untuk memberi atau tidak, sesuai kemampuan dan keikhlasan masing-masing. Universitas, fakultas dan jurusan dapat memperkuat pesan ini agar mahasiswa tetap bisa mengekspresikan rasa terima kasih tanpa merasa terbebani secara finansial, sekaligus menghindari anggapan bahwa tradisi ini mengarah pada gratifikasi.

Karya: Adisty 
Editor: Indepth

Senin, 01 September 2025

AKSI BERAKHIR DAMAI, DPRD SIAP KAWAL ASPIRASI MASYARAKAT LAMPUNG KE PRESIDEN

[ Berita ]


Sumber: Andre

Raden Intan — Aksi demonstrasi berakhir damai, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi Lampung Siap kawal aspirasi dengan 10 tuntutan masyarakat Lampung ke presiden. (Senin, 01/09/25)

Aksi Demonstrasi ini dilaksanakan di depan Gedung DPRD Provinsi Lampung yang diikuti oleh ribuan masa aksi dari berbagai perguruan tinggi serta elemen masyarakat. Dengan membawa 10 tuntutan di antaranya:

10 tuntutan yang telah ditandatangani.

1. Sahkan Undang-Undang (UU) Perampasan Aset.
2. ⁠Potong Tunjangan dan Gaji Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
3. ⁠Tingkatkan Kualitas Gaji Guru dan Dosen.
4. ⁠Memerintahkan Prabowo Memecat Menteri-Menteri yang Problematik.
5. ⁠Meminta Ketua Partai yang Kadernya Berada di Eksekutif dan Legislatif untuk Diberhentikan atau Restrukturisasi.
6. ⁠Reformasi Total Polisi Republik Indonesia (Polri) dan Adili Pelaku Pembunuhan Affab Kurniawan serta Evaluasi Kinerja Polisi Daerah (Polda) Lampung.
7. ⁠Tolak Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
8. ⁠Menolak Efisiensi terhadap Sektor Pendidikan dan Kesehatan.
9. ⁠Berhenti Menggunakan Pajak Rakyat untuk Menindas Rakyat.
10. ⁠Pembebasan Lahan untuk Petani Anak Tuha, Reformasi Agraria, Pembebasan Lahan di Lampung.

10 tuntutan tersebut telah ditandatangani dan disepakati setelah aksi berlangsung selama kurang lebih 4 jam dengan gerakan damai di tengah situasi yang cukup ricuh sebelum DPRD turun berdialog bersama massa aksi. 

Dialog bersama pun dihadiri langsung oleh Rahmat Mirzani Djausal, S.T., M.M., selaku Gubernur provinsi Lampung, Naldi Rinara S. Rizal, S.E, M.M., selaku Wakil Ketua IV DPRD Lampung, Kepala Kepolisian Resor Kota (Kapolres) Bandar Lampung, Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Lampung, dan Tokoh Adat Lampung. 

Wakil Ketua IV DPRD Lampung menyampaikan apresiasi atas cara mahasiswa menyuarakan aspirasi.

“Kami mengapresiasi aspirasi teman-teman yang disampaikan dengan cara terhormat. Seluruh aspirasi sudah kami baca dan siap kami kawal hingga ke Presiden dan DPR RI agar dapat diterima serta dilaksanakan,” ujarnya.

Sementara itu, Zaid Aiman Abdul Ghoniy selaku Wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung (Unila), menegaskan bahwa aksi kali ini sudah mencapai tujuan utama mahasiswa.

“Pencapaian maksimum hari ini adalah bertemu langsung dengan Kepala DPRD, Gubernur, dan Kepala Polisi Daerah (Kapolda). Alhamdulillah hal itu terealisasi melalui pernyataan sikap yang disampaikan Gubernur,” jelasnya.

Reporter: Erliana
Editor: Indepth

SIAP TURUN AKSI, WAREK III SAMPAIKAN ARAHAN BAGI MAHASISWA UIN RIL

[ Berita ]


Sumber: Radenintan.ac.id

Raden Intan — Siap turun aksi demonstrasi, Wakil Rektor (Warek) III Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (UIN RIL) sampaikan arahan bagi mahasiswa UIN RIL yang turun aksi. (Senin, 01/09/25) 

UIN RIL menjadi salah satu kampus yang turut mengikuti aksi demonstrasi di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Lampung pada 1 September 2025.

Menjelang keberangkatan ke titik kumpul aksi, massa aksi UIN RIL melakukan pelepasan dan doa bersama di halaman gedung rektorat UIN RIL. Kegiatan ini mengundang Warek III menyampaikan arahannya terkait aksi yang akan dilakukan nantinya.

Warek III UIN RIL menyampaikan bahwa dalam proses demonstrasi ini, kita juga harus bersikap humanistik.

"Kita harus bersikap humanistik, tidak menginginkan kejadian seperti penjarahan dan perusakan fasilitas umum. Saya sangat berharap, bahwa sebagai mahasiswa yang bernaung pada perguruan tinggi keagamaan adik-adik semua memiliki karakter yang berintegritas," ucapnya.

Ade Pragoya selaku Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) UIN RIL juga turut menyampaikan harapannya.

"Tentunya harapan saya tidak jauh berbeda dengan Pak Warek. Tetap pada tujuan awal turun aksi, jangan anarkis, lakukan dengan tertib, aman, dan damai, juga jangan berhenti sebelum menang," harapnya.

Reporter: Novel
Editor: Cerpen

Minggu, 31 Agustus 2025

DARI JALANAN HINGGA KEKHAWATIRAN, ISYARAT TRAGEDI 1998 TERULANG?

[Opini]


Sumber: Kompas.com

Dikutip dari kompas.com, tahun 1998 adalah titik balik sejarah Indonesia. Jatuhnya rezim orde baru membuka pintu menuju era demokrasi yang menjanjikan kebebasan, keadilan, dan pemerintah yang bersih. Reformasi lahir dari gelombang protes mahasiswa dan rakyat yang menginginkan perubahan mendasar terhadap kekuasaan otoriter dan koruptif.

Bila tahun 1998 ditandai dengan keberanian mahasiswa dan rakyat menuntut keadilan di jalanan, maka tahun 2025 ini memperlihatkan demokrasi yang semakin dibungkam secara halus lewat regulasi, pembatasan kebebasan berpendapat, dan lembaga lembaga independen. Namun perbedaan tahun 1998 represif secara fisik dan terang terangan contohnya seperti penculikan, penembakan, dan penjarahan. Tetapi berbeda pada tahun sekarang, represifnya secara halus dan legal. Legal formal seperti pakai hukum, regulasi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan blokir konten.

Namun, ada kemiripan yang patut kita waspadai, konflik antar sesama rakyat. Contoh terdekat adalah insiden yang menimpa Affan Kurniawan yang terjadi pada Kamis malam (28/08), seorang ojek online (ojol) yang ditabrak oleh kendaraan taktis (rantis) kepolisian negara republik Indonesia (Polri). Padahal, saat itu Affan sedang bekerja, dan melintas dilokasi demo. Naasnya, sebuah rantis brigade mobil (brimob) melaju kencang dan tubuhnya terlindas. Rakyat tentu tambah marah, dan makin tidak terkendali. Hal Itu menjadi bukti bahwa, Alih-alih berdiskusi, dan melindungi satu sama lain. kita justru mulai saling menyerang, dan banyak korban yang tidak bersalah terkena imbasnya. 

Kemudian dikutip dari detik.com, mulai Sabtu malam (30/08), pengguna TikTok di Indonesia tidak lagi bisa menggunakan layanan siaran langsung atau live. Pihak TikTok memutuskan untuk menonaktifkan fitur tersebut sementara waktu dengan alasan menjaga keamanan nasional. Terkait hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan, kebijakan tersebut bukan arahan pemerintah melainkan inisiatif TikTok sendiri. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar. Ia membantah kabar bahwa pemerintah meminta TikTok menghentikan layanan live sementara waktu. 

Tapi, apakah benar ini merupakan inisiatif dari Tiktok itu sendiri? Atau justru sebuah awal pembungkaman kepada rakyat yang katanya bebas memberi aspirasi, tapi malah dibatasi? Apakah situasi hari ini sudah sedekat itu dengan tragedi 1998?

Menurut saya, dalam beberapa aspek, belum. Namun secara atmosfer, tekanan sosial dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah mulai memuncak, mirip dengan suasana pra-reformasi dulu. Rakyat mulai muak, suara dibungkam, media dibatasi, dan aparat mulai dianggap tak lagi membela rakyat.

Henry Manampiring, yang merupakan seorang penulis turut berpesan untuk belajar dari kerusuhan 1998. "Belajar dari kerusuhan dan perkosaan 1998 masal jangan mau diadu domba melawan suku atau agama lain," ucapnya dilaman instragramnya.

Dalam pandangan saya, kalimat tersebut benar. Itu dapat menjadi pengingat bagi kita. Kita tidak butuh pertumpahan darah untuk memperjuangkan suara. Rakyat Indonesia hari ini harus lebih bijak, lebih kritis, tapi juga lebih damai dalam menyuarakan pendapat. Kita tahu harga dari sebuah kerusuhan, dan kita tidak ingin membayarnya lagi. 

Ingat, jangan terprovokasi. Suarakan kebenaran, tapi dengan kepala dingin. Karena demokrasi bukan hanya soal kebebasan bicara, tapi juga soal kedewasaan dalam berdialog. Reformasi bukan sekedar warisan, tapi juga sebuah tanggung jawab. Mungkin kita memang bukan generasi pertama yang melawan ketidakadilan, tapi kita bisa jadi generasi pertama yang melawan dengan cara yang lebih beradab. Hal itu hanya bisa terjadi jika kita semua, rakyat, mahasiswa, aparat, dan pemerintah, sama-sama ingat, bahwa Indonesia bukan milik satu suara, tapi milik semua.

Kalau kita semua gagal menjaga itu, maka bukan tidak mungkin sejarah akan terulang dan kali ini, luka yang sama akan terasa lebih pedih karena kita sebenarnya sudah tahu cara mencegahnya, tapi memilih untuk tidak.

Karya: Ratu & Ana 
Editor: indepth

Jumat, 29 Agustus 2025

RANTIS POLRI, PENGAMAN ATAU ANCAMAN NYAWA RAKYAT?

[ Opini ]




Insiden kendaraan taktis (rantis) yang menabrak driver ojek online (ojol) di Pejompongan bukan sekadar kecelakaan biasa. Tragedi ini menjadi bukti bahwa rasa aman warga bisa hilang kapan saja, bahkan oleh pihak yang seharusnya melindungi mereka.

Tragedi ini terjadi pada Kamis, 28 Agustus 2025 sekitar pukul 19.25 WIB, di kawasan Jalan Penjernihan I, Pejompongan, Jakarta Pusat. Saat itu sedang berlangsung demo menolak tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlangsung ricuh di sekitar Gedung DPR.

Mengutip dari katadata.co.id, di tengah kekacauan, seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan (21) yang sedang bekerja melintas di sekitar lokasi. Affan terjatuh di jalan, dan naas, sebuah rantis Brigade Mobil (Brimob) melaju kencang dan melindas tubuhnya. Video yang beredar menunjukkan rantis sempat berhenti sejenak, tetapi kemudian kembali melaju dan semakin melindas tubuh korban. Affan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun nyawanya tidak tertolong.

Dilansir dari kumparan.com, Affan adalah mahasiswa tingkat akhir yang juga bekerja sebagai driver ojol untuk membantu kebutuhan keluarganya. Fakta yang beredar juga menyebutkan bahwa tujuh oknum anggota Brimob yang bertugas mengoperasikan rantis tersebut kini telah diamankan untuk diperiksa. Namun hingga saat ini, belum juga diketahui nama-nama anggota Brimob yang menabrak Affan hingga tewas.

Pengoperasian rantis di kawasan padat seharusnya dilakukan dengan disiplin dan prosedur ketat. Fakta bahwa seorang ojol yang hanya mencari nafkah bisa menjadi korban menunjukkan bahwa profesionalisme aparat masih jauh dari harapan. Rantis sejatinya dirancang untuk melindungi dan menjaga keamanan, bukan menjadi ancaman mematikan bagi warga. Dalam kondisi kericuhan sekalipun, kendaraan ini tidak perlu dikemudikan secara ugal-ugalan.

Dalam pandangan saya, kepercayaan publik pun akan semakin menipis. Permintaan maaf dan janji investigasi terdengar seperti pola lama yang terus diulang tanpa tindakan nyata. Publik butuh bukti bahwa ada evaluasi, transparansi, dan sanksi tegas agar jurang ketidakpercayaan tidak semakin lebar.

Bagi para ojol, tragedi ini bukan hanya soal luka fisik, tetapi juga trauma psikologis. Mereka kini harus bekerja dengan rasa waswas, khawatir bahwa ancaman di jalan datang bukan hanya dari lalu lintas atau kriminalitas, tetapi juga dari aparat itu sendiri.

Menurut saya, kejadian ini seharusnya menjadi titik balik. Reformasi di tubuh kepolisian bukan lagi wacana, tetapi keharusan. Profesionalisme tidak cukup diukur dari kemampuan mengendalikan peralatan, tetapi juga dari empati dan kesadaran bahwa tugas utama aparat adalah menjaga rasa aman masyarakat. Rakyat sekarang makin kehilangan kepercayaan pada aparat. Tanpa bukti nyata berupa evaluasi, penegakan hukum, dan perubahan sikap, rasa aman itu akan terus terkikis.

Karya: Fazila
Editor: Novel

Rabu, 27 Agustus 2025

PBAK HARI KEDUA, MAHASISWA BARU UIN RIL KENALI LINGKUNGAN FAKULTAS

[ Berita ]


Sambutan Dekan Fakultas Syariah
Sumber: Andre

Raden Intan – Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) hari kedua, Mahasiswa Baru (Maba) Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung (UIN RIL) mulai diperkenalkan lingkungan fakultas masing-masing. (Rabu 27/08/25).

PBAK hari kedua dilaksanakan di gedung fakultas masing-masing, yang bertujuan untuk membantu maba beradaptasi dengan lingkungan jurusan, mengenal budaya akademik, sistem perkuliahan, layanan kampus, serta organisasi kemahasiswaan di fakultas.

Dr. Eva Rodiah Nur, M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah (FS) menekankan pentingnya integritas dan pemahaman hukum Islam dalam kehidupan akademik maupun masyarakat. Ia juga menyampaikan bahwa UIN RIL berkomitmen memperkuat visi integritas melalui kurikulum cinta.

"Di Fakultas Syariah, Kurikulum Cinta wajib diterapkan hingga Juli 2028, yang berlandaskan kasih sayang dan kepedulian, serta menghindari tindakan saling membully," tuturnya.

Eli Sintia, mahasiswa baru Hukum Tata Negara (HTN), mengatakan bahwa penerapan kurikulum cinta menegaskan pentingnya keseimbangan antara akademik dan karakter.

“Hal ini menegaskan bahwa menjadi mahasiswa HTN tidak hanya dituntut untuk unggul secara akademik, tetapi juga memiliki karakter dan kepedulian sosial,” ucapnya.

Sementara itu, Rinda Aulia, mahasiswa baru Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), merasa bahwa PBAK hari kedua sangat luar biasa. “Kegiatan yang diselenggarakan terasa menyenangkan, terutama dengan kehadiran para pemateri hebat yang memberikan materi bermanfaat untuk mengenal fakultas,” ujarnya.


Rep: Erliana & Reva

Editor: Indepth