[Opini]
![]() |
Sumber: Kompas.com |
Dikutip dari kompas.com, tahun 1998 adalah titik balik sejarah Indonesia. Jatuhnya rezim orde baru membuka pintu menuju era demokrasi yang menjanjikan kebebasan, keadilan, dan pemerintah yang bersih. Reformasi lahir dari gelombang protes mahasiswa dan rakyat yang menginginkan perubahan mendasar terhadap kekuasaan otoriter dan koruptif.
Bila tahun 1998 ditandai dengan keberanian mahasiswa dan rakyat menuntut keadilan di jalanan, maka tahun 2025 ini memperlihatkan demokrasi yang semakin dibungkam secara halus lewat regulasi, pembatasan kebebasan berpendapat, dan lembaga lembaga independen. Namun perbedaan tahun 1998 represif secara fisik dan terang terangan contohnya seperti penculikan, penembakan, dan penjarahan. Tetapi berbeda pada tahun sekarang, represifnya secara halus dan legal. Legal formal seperti pakai hukum, regulasi, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan blokir konten.
Namun, ada kemiripan yang patut kita waspadai, konflik antar sesama rakyat. Contoh terdekat adalah insiden yang menimpa Affan Kurniawan yang terjadi pada Kamis malam (28/08), seorang ojek online (ojol) yang ditabrak oleh kendaraan taktis (rantis) kepolisian negara republik Indonesia (Polri). Padahal, saat itu Affan sedang bekerja, dan melintas dilokasi demo. Naasnya, sebuah rantis brigade mobil (brimob) melaju kencang dan tubuhnya terlindas. Rakyat tentu tambah marah, dan makin tidak terkendali. Hal Itu menjadi bukti bahwa, Alih-alih berdiskusi, dan melindungi satu sama lain. kita justru mulai saling menyerang, dan banyak korban yang tidak bersalah terkena imbasnya.
Kemudian dikutip dari detik.com, mulai Sabtu malam (30/08), pengguna TikTok di Indonesia tidak lagi bisa menggunakan layanan siaran langsung atau live. Pihak TikTok memutuskan untuk menonaktifkan fitur tersebut sementara waktu dengan alasan menjaga keamanan nasional. Terkait hal ini, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan, kebijakan tersebut bukan arahan pemerintah melainkan inisiatif TikTok sendiri. Hal itu disampaikan Direktur Jenderal (Dirjen) Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Alexander Sabar. Ia membantah kabar bahwa pemerintah meminta TikTok menghentikan layanan live sementara waktu.
Tapi, apakah benar ini merupakan inisiatif dari Tiktok itu sendiri? Atau justru sebuah awal pembungkaman kepada rakyat yang katanya bebas memberi aspirasi, tapi malah dibatasi? Apakah situasi hari ini sudah sedekat itu dengan tragedi 1998?
Menurut saya, dalam beberapa aspek, belum. Namun secara atmosfer, tekanan sosial dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah mulai memuncak, mirip dengan suasana pra-reformasi dulu. Rakyat mulai muak, suara dibungkam, media dibatasi, dan aparat mulai dianggap tak lagi membela rakyat.
Henry Manampiring, yang merupakan seorang penulis turut berpesan untuk belajar dari kerusuhan 1998. "Belajar dari kerusuhan dan perkosaan 1998 masal jangan mau diadu domba melawan suku atau agama lain," ucapnya dilaman instragramnya.
Dalam pandangan saya, kalimat tersebut benar. Itu dapat menjadi pengingat bagi kita. Kita tidak butuh pertumpahan darah untuk memperjuangkan suara. Rakyat Indonesia hari ini harus lebih bijak, lebih kritis, tapi juga lebih damai dalam menyuarakan pendapat. Kita tahu harga dari sebuah kerusuhan, dan kita tidak ingin membayarnya lagi.
Ingat, jangan terprovokasi. Suarakan kebenaran, tapi dengan kepala dingin. Karena demokrasi bukan hanya soal kebebasan bicara, tapi juga soal kedewasaan dalam berdialog. Reformasi bukan sekedar warisan, tapi juga sebuah tanggung jawab. Mungkin kita memang bukan generasi pertama yang melawan ketidakadilan, tapi kita bisa jadi generasi pertama yang melawan dengan cara yang lebih beradab. Hal itu hanya bisa terjadi jika kita semua, rakyat, mahasiswa, aparat, dan pemerintah, sama-sama ingat, bahwa Indonesia bukan milik satu suara, tapi milik semua.
Kalau kita semua gagal menjaga itu, maka bukan tidak mungkin sejarah akan terulang dan kali ini, luka yang sama akan terasa lebih pedih karena kita sebenarnya sudah tahu cara mencegahnya, tapi memilih untuk tidak.
Karya: Ratu & Ana
Editor: indepth