Insiden kendaraan taktis (rantis) yang menabrak driver ojek online (ojol) di Pejompongan bukan sekadar kecelakaan biasa. Tragedi ini menjadi bukti bahwa rasa aman warga bisa hilang kapan saja, bahkan oleh pihak yang seharusnya melindungi mereka.
Tragedi ini terjadi pada Kamis, 28 Agustus 2025 sekitar pukul 19.25 WIB, di kawasan Jalan Penjernihan I, Pejompongan, Jakarta Pusat. Saat itu sedang berlangsung demo menolak tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlangsung ricuh di sekitar Gedung DPR.
Mengutip dari katadata.co.id, di tengah kekacauan, seorang driver ojol bernama Affan Kurniawan (21) yang sedang bekerja melintas di sekitar lokasi. Affan terjatuh di jalan, dan naas, sebuah rantis Brigade Mobil (Brimob) melaju kencang dan melindas tubuhnya. Video yang beredar menunjukkan rantis sempat berhenti sejenak, tetapi kemudian kembali melaju dan semakin melindas tubuh korban. Affan langsung dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun nyawanya tidak tertolong.
Dilansir dari kumparan.com, Affan adalah mahasiswa tingkat akhir yang juga bekerja sebagai driver ojol untuk membantu kebutuhan keluarganya. Fakta yang beredar juga menyebutkan bahwa tujuh oknum anggota Brimob yang bertugas mengoperasikan rantis tersebut kini telah diamankan untuk diperiksa. Namun hingga saat ini, belum juga diketahui nama-nama anggota Brimob yang menabrak Affan hingga tewas.
Pengoperasian rantis di kawasan padat seharusnya dilakukan dengan disiplin dan prosedur ketat. Fakta bahwa seorang ojol yang hanya mencari nafkah bisa menjadi korban menunjukkan bahwa profesionalisme aparat masih jauh dari harapan. Rantis sejatinya dirancang untuk melindungi dan menjaga keamanan, bukan menjadi ancaman mematikan bagi warga. Dalam kondisi kericuhan sekalipun, kendaraan ini tidak perlu dikemudikan secara ugal-ugalan.
Dalam pandangan saya, kepercayaan publik pun akan semakin menipis. Permintaan maaf dan janji investigasi terdengar seperti pola lama yang terus diulang tanpa tindakan nyata. Publik butuh bukti bahwa ada evaluasi, transparansi, dan sanksi tegas agar jurang ketidakpercayaan tidak semakin lebar.
Bagi para ojol, tragedi ini bukan hanya soal luka fisik, tetapi juga trauma psikologis. Mereka kini harus bekerja dengan rasa waswas, khawatir bahwa ancaman di jalan datang bukan hanya dari lalu lintas atau kriminalitas, tetapi juga dari aparat itu sendiri.
Menurut saya, kejadian ini seharusnya menjadi titik balik. Reformasi di tubuh kepolisian bukan lagi wacana, tetapi keharusan. Profesionalisme tidak cukup diukur dari kemampuan mengendalikan peralatan, tetapi juga dari empati dan kesadaran bahwa tugas utama aparat adalah menjaga rasa aman masyarakat. Rakyat sekarang makin kehilangan kepercayaan pada aparat. Tanpa bukti nyata berupa evaluasi, penegakan hukum, dan perubahan sikap, rasa aman itu akan terus terkikis.
Karya: Fazila
Editor: Novel