![]() |
Sumber: mongadayco.id |
Raja Ampat, sebuah gugusan kepulauan yang terletak di Provinsi Papua Barat Daya, Indonesia, dikenal sebagai “surga bawah laut dunia”. Dikutip dari en.wikipedia.co.id wilayah ini menyimpan sekitar 75% spesies karang dunia dan lebih dari 1.400 spesies ikan, menjadikannya salah satu kawasan dengan biodiversitas laut tertinggi di planet ini.
Namun, keindahan Raja Ampat kini terancam serius oleh ekspansi industri tambang nikel, terutama di wilayah-wilayah kecil seperti Pulau Gag dan Pulau Kawe. Meskipun selama ini dikenal sebagai destinasi wisata ekowisata kelas dunia, kawasan ini sekarang berubah menjadi medan pertarungan antara pelestarian lingkungan, kepentingan industri, dan hak masyarakat adat.
Ancaman utama datang dari pertambangan nikel berskala besar yang diduga merambah kawasan konservasi laut dan hutan tropis. Nikel adalah logam penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik Electric Vehicle (EV), dan karena permintaan global melonjak, eksplorasi dan eksploitasi tambang pun meningkat tajam. Dikutip dari AP News, dalam lima tahun terakhir, wilayah tambang di Raja Ampat meningkat tiga kali lipat, menyebabkan:
1. Deforestasi hutan primer,
2. Pencemaran aliran air bersih,
3. Sedimentasi di laut yang merusak terumbu karang.
Sedimentasi dari pembukaan lahan tambang mengaburkan perairan, mematikan karang karena hilangnya cahaya matahari, dan menghancurkan habitat biota laut. Ini sangat mempengaruhi ekosistem serta mata pencaharian masyarakat lokal, terutama nelayan dan pelaku wisata.
Dilansir dari tirto.id tujuan utama penambangan nikel di Raja Ampat adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik. Indonesia saat ini merupakan salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia dan memiliki ambisi besar untuk menjadi pemain utama dalam industri EV global. Oleh karena itu, eksploitasi nikel di wilayah-wilayah terpencil seperti Raja Ampat dianggap sebagai bagian dari strategi nasional.
Menurut Sorongraya.iNews.id, Suku Kawei mengklaim bahwa mereka tidak pernah memberikan persetujuan resmi terhadap eksplorasi tambang. Mereka juga menuntut pembayaran hak ulayat sebesar Rp 550 miliar dari hasil operasi tambang PT Gag Nikel sejak 2018 hingga 2023. Konflik pun memuncak di Kampung Manyaifun, di mana terjadi bentrok antarwarga yang pro dan kontra terhadap tambang. Pemerintah daerah dinilai lamban dalam merespons, sehingga polarisasi dan ketegangan sosial meningkat.
Pada Maret 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pulau-pulau kecil seperti di Raja Ampat harus dilindungi dari aktivitas industri berisiko tinggi, termasuk tambang.
Namun hingga pertengahan 2025, aktivitas tambang masih berlangsung, memicu kecaman dari berbagai kalangan pemerhati lingkungan dan masyarakat sipil. Jika tidak segera ditindaklanjuti, Indonesia bisa kehilangan salah satu aset paling berharga di planet ini Raja Ampat, surga yang hanya satu-satunya di dunia.
Karya: Fazila
Editor: Indepth