Senin, 27 Januari 2025

CAHAYA OBOR DAN PERJALANAN KE LANGIT

[ Cerpen ]

Sumber: Pinterest

Malam itu, Kampung Sukatani tampak lebih terang dari biasanya. Barisan obor menyala di tangan warga desa yang berjalan mengelilingi kampung, sambil melantunkan sholawat Nabi dengan semangat. Di barisan depan, Hasan, Salma, dan Dika memegang obor mereka dengan penuh kebanggaan meski ada sedikit keluhan juga.

“Eh, ini obor kok makin lama makin berat ya? Apa apinya tambah gede?” keluh Dika sambil mencoba mengistirahatkan tangannya.
Hasan nyengir sambil menoleh ke arahnya. “Itu namanya efek kurang olahraga, Dik.”
Salma langsung menyahut, “Iya, tangan kamu tuh kayak lidi. Bawa obor aja ngos-ngosan.”
“Yah, enggak usah nyindir dong!” Dika pura-pura cemberut.

Setelah mengelilingi kampung, mereka tiba di balai desa. Obor-obor dipadamkan satu per satu, diganti dengan lampu minyak yang memancarkan cahaya hangat. Anak-anak segera duduk melingkar di atas tikar yang sudah digelar. Di tengah lingkaran itu, Ustadz Ahmad duduk bersila dengan senyum ramah.

“Assalamualaikum, anak-anak,” sapa Ustadz Ahmad. “Tadi keliling kampungnya capek?”
“Capek, Ustadz,” jawab Hasan. “Seru sih, tapi tangan saya kayak habis angkat barbel,” keluh Dika sambil memijat lengannya.
“Ah, itu tandanya kamu harus sering ikut bantu ibu ngangkat galon di rumah,” balas Ustadz Ahmad bercanda. Semua anak tertawa.

Setelah suasana mencair, Ustadz Ahmad mulai berbicara. “Anak-anak, malam ini kita memperingati Isra Mi’raj. Ada yang tahu apa itu Isra Mi’raj?”
Hasan langsung menjawab, “Isra itu perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, ya, Ustadz?”
“Betul sekali, Hasan. Dan Mi’raj adalah perjalanan Nabi dari Masjidil Aqsa naik ke langit, sampai Sidratul Muntaha. Semuanya terjadi dalam satu malam saja.”

Salma mengangkat tangan. “Ustadz, kok bisa dalam satu malam? Kan jauh banget.”
Ustadz Ahmad tersenyum. “Itu mukjizat dari Allah. Nabi Muhammad dibawa oleh makhluk bernama Buraq. Buraq ini bentuknya seperti kuda putih, lebih besar dari keledai tapi lebih kecil dari unta. Dia punya sayap di kedua sisinya, dan langkahnya sejauh mata memandang.”

Dika tampak kagum. “Wah, keren banget. Kalau aku punya Buraq, aku pasti enggak bakal telat ke sekolah lagi!”
Salma langsung menyahut, “Yakin? Kalau kamu, Buraqnya mungkin kabur duluan, Dik, enggak kuat bawa kamu.”
Semua anak tertawa lagi, termasuk Ustadz Ahmad. “Jadi, Dika harus sering makan sayur biar enggak bikin Buraq keberatan.”

Setelah tawa reda, Ustadz Ahmad melanjutkan. “Di Masjidil Aqsa, Nabi Muhammad memimpin salat bersama para nabi. Setelah itu, Malaikat Jibril membawa Nabi naik ke langit. Di setiap lapisan langit, Nabi bertemu dengan para nabi lainnya.”

Hasan penasaran. “Nabi ketemu siapa aja, Ustadz?”
“Di langit pertama, Nabi bertemu Nabi Adam. Nabi Adam menunjukkan wajah-wajah keturunannya; ada yang bersinar terang, ada yang gelap. Itu melambangkan amal baik dan buruk manusia.”
Salma bertanya, “Kalau kita, wajah kita gimana, Ustadz?”
“Kalau kalian rajin salat dan baik sama orang lain, wajah kalian pasti bersinar di sana nanti." 

Ustadz Ahmad melanjutkan “Di langit kedua, Nabi bertemu Nabi Isa dan Nabi Yahya. Di langit ketiga, beliau bertemu Nabi Yusuf, yang sangat tampan.”

“Di langit keempat, Nabi bertemu Nabi Idris. Di langit kelima, ada Nabi Harun. Di langit keenam, Nabi bertemu Nabi Musa yang banyak memberi nasihat kepada Nabi Muhammad. Dan di langit ketujuh, beliau bertemu Nabi Ibrahim yang sedang bersandar di Baitul Ma’mur. Itu adalah tempat ibadah para malaikat.”

Dika bertanya lagi, “Kalau Sidratul Muntaha itu apa, Ustadz?”
“Sidratul Muntaha adalah tempat paling tinggi yang dicapai makhluk. Di sana, Nabi Muhammad bertemu langsung dengan Allah SWT. Nabi mendapat perintah salat. Awalnya, salat diwajibkan lima puluh kali sehari.”
“Lima puluh kali?!” Dika terbelalak. “Kalau gitu, tiap lima menit kita salat dong, Ustadz. Enggak sempat jajan lagi.”
Semua tertawa. Ustadz Ahmad menjelaskan sambil tersenyum, “Betul. Tapi Nabi Musa menyarankan Nabi Muhammad untuk meminta keringanan kepada Allah. Akhirnya, setelah beberapa kali memohon, salat diwajibkan hanya lima kali sehari. Tapi pahalanya tetap setara dengan lima puluh kali.”

Salma mengangguk. “Oh, jadi itu kenapa kita wajib salat lima waktu?”
“Iya, Salma. Salat itu hadiah dari Allah. Itu cara kita mendekatkan diri kepada-Nya. Jangan pernah malas salat, ya?”

Malam semakin larut. Ustadz Ahmad mengakhiri ceritanya dengan pesan mendalam. “Anak-anak, perjalanan Isra Mi’raj ini mengajarkan kita banyak hal. Pertama, jangan pernah ragu akan kebesaran Allah. Kedua, jagalah salat kalian karena itu hadiah istimewa dari Allah untuk kita.”

Saat berjalan pulang, Hasan berkata pelan, “Malam ini aku jadi sadar, salat itu ternyata istimewa banget.”
“Iya, dan Nabi Muhammad hebat banget. Kita harus lebih cinta sama Nabi,” tambah Salma.
Dika mengangguk. “Besok kita bangun Subuh bareng yuk. Jangan ada yang bolos, ya.”

Ketiganya tertawa kecil sambil melangkah di bawah cahaya bintang. Obor mereka sudah padam, tapi cahaya pelajaran malam itu terus menerangi hati mereka.

Karya: Sight 
Editor: Indepth