Kamis, 04 Oktober 2018
PELAYAN TAK TAHU DIRI
Rumah besar dengan segala isinya yang menyilaukan mata setiap tamu yang berkunjung untuk sekedar menyeruput kopi yang di seduh dengan goyangan yang membuat hati ikut berdegub kencang. Sebuah campuran dan aroma yang aduhai menggugah selera untuk bersedia menjadi penikmat pertama, namun sayang sudah ada yang lebih mendahului.
Datanglah sekelompok pelayan rumah yang siap membantu pengunjung untuk melihat seisi rumah dan duduk berjajar dengan tuan dan nyonya. Saling bersapa dan saling memuji untuk sebuah penjamuan. Dihidangkan sebongkah daging untuk santapan pembuka di awal pintu gerbang sebelum melewati terowongan yang sunyi dan lembab di bawah tapakan tuan muda. satu persatu tamu di layani dan akan menjadi penghuni untuk bersama-sama mengisi rumah mewah dengan sebuah singgasana raksasa.
Pelayan hanya turut mengikuti apa permintaan dari tuan dan nyonya penunggang singgsana yang terletak diantara lobi-lobi yang berjajar di pinggirian karpet merah untuk para tetuah memberikan pengahsilan dari terawangannya. Para tamu sudah menjadi bagian dari ambal-ambal permata yang terbentang lebar di setiap kamar. Semua perabotan yang sudah di bersihkan di persilahkan untuk digunakan oleh penghuni rumah mewah ini. Pelayan sudah bisa melayani dengan setulus hati dan dengan menjalankan tugas yang sama terhadap penghuni rumah yang baru.
Tuan dan nyonya yang bersila diatas singgasana permata tak ingin tersentuh oleh penghuni rumah yang lain. Dipasangnya batas area berupa patung-patung granit yang berkilauan dikala bola ini memandang dengan bantuan cahaya rembulan. Para pelayan di pasangnya sebagai bagar betis agar anak-anak yang dirumah tak mengusik pertapaan tuan dan nyonya.
Maklum, anak-anak masih rindu dan ingin bermain, bercanda dan tertawa dengan orang tuanya. Mereka ingin ayah dan ibunya memeluknya seperti mereka dikala masih dalam balutan kain sutra dan terdiam kaku yang hanya bisa sesekali merengek dan meneteskan air surga. Di panggilah tuan dan nyonya yang sedang bertapa untuk mengundang calon penghuni rumah baru yang sedang dalam perjalanan menuju rumah mereka, tapi tak sedikitpun teriakan dari anak-anak mereka yang di hiraukan. Penghuni yang lain diberikan hak kuasa untuk menjadikan rumah mereka sebagai tempat wisata dan berpesta.
Anak-anak hanya sekedar di asuh oleh baby sister yang kurang berpotensi untuk mendidiknya menjadi seorang arjuna peradaban. Pelayan yang terdiam di sisi tuan dan nyonya tak mengizinkan anak-anak untuk mendekatinya. Mereka tak di perbolehkan untuk bertemu dan merangkul ayah bundanya, mereka hanya di perbolehkan bermain dengan pengasuhnya yang hanya bisa berfoto ria dengan penghuni rumah yang memang tak ada tujuan lain selain menikmati aroma permata di sekeliling pojokan taman. Rintihan tangis sang buah hati tak lagi di hiraukan hingga mereka mencoba untuk meraih ayah dan bundanya.
Mereka mencoba menerobos pagar betis untuk bisa merangkul ayah dan bundanya, namun apadaya mereka, pelayan yang tak tahu diri itu malah mengusirnya dan menghardik mereka. Tuan dan nyonya hanya tersenyum tipis melihat anak mereka merintih kesakitan dalam menahan rindu mereka. Pelayan yang sudah lupa akan tugasnya sebagai apa di rumah tersebut mulai berbuat sesuka mereka terhadap ahli waris rumah itu. Pelayan itu menghakimi sendiri anak-anak yang mencoba untuk meraih tangan ayah dan bundanya.
Pelayan yang memang tak ada bakat dan masuk karna belas kasihan dan ada juga kerabat yang menjadi pelayan sehingga mereka bisa menjadi pelayan. Kebutaan yang tak ingin disembuhkan dijadikan mereka sebagai alasan untuk menghardik anak-anak dari tuan dan nyonya mereka. Sudah lupa tugas dan tak mau lagi melihat buku daftar tugas mereka di rumah itu. Mereka itu pelayan, tapi semena-mena terhadap calon majikan, memang patut para pelayan itu mendapat sangsi pengeluaran dari tempat kerja agar mereka dapat mencoba meraba dan membuka mata mereka dari kebutaan yang mereka sengajakan. (oleh : seniman miskin)
Langganan:
Postingan (Atom)