Sabtu, 28 Juni 2025

HIJRAH DALAM SINAR MALAM 1 MUHARRAM

[ Cerpen ]


Sumber: Pinterest


Malam 1 Muharram 1447, di desa Sumber Cahaya terasa begitu syahdu. Langit bertabur bintang, dengan latar suara jangkrik menjadi harmoni yang membawa ketenangan. Di masjid Al-Ikhlas, masjid kecil di tengah desa Sumber Cahaya, lampu-lampu minyak menghiasi, membawa sinar menerangi wajah-wajah yang berkumpul menyambut Muharram. Semua warga desa malam itu berkumpul untuk menghadiri pengajian sederhana, dan mendengarkan ceramah dari pak Ustadz. 

Sementara Zaenab, seorang anak berusia 15 tahun duduk termenung di teras masjid seraya memandang langit. Dipakainya kerudung coklat dengan rapi. Di tangannya, ia memegang buku catatan kecil dan sebuah pena. 

Di dalam masjid, suara Pak Ustadz yang sedang menyampaikan ceramah tentang makna Muharram, samar-samar terdengar, namun Zaenab seolah larut dalam lamunannya sendiri. "Setiap tahun baru Islam, Aku selalu janji sama diri sendiri agar hijrah jadi lebih baik. Tapi, rasanya aku gak pernah benar-benar berusaha jadi lebih baik. Cuman omong kosong di setiap tahun. Janji yang cuman jadi rutinitas aja. Aku ngerasa ga pernah bergerak. Aku terjebak ditempat yang sama," gumamnya pelan.

Tanpa ia sadari, gumaman kecil itu terdengar oleh Umi, ibunya yang baru saja keluar dari masjid setelah menyadari Zaenab tidak ada di dalam. Umi yang tidak sengaja mendengar gumaman anak sulungnya itu paham betul, bahwa Zaenab sedang dalam masa pertumbuhan. Banyak hal yang menjadi pertanyaannya, dan itu wajar. 

"Zaenab, hijrah itu bukan hanya berpindah tempat, yang harus dipindahkan itu adalah hati kita," kata Umi dengan suara lembutnya.

Zaenab menoleh dengan terkejut karena tiba-tiba saja Umi ada disampingnya. Tapi itu tak ia hiraukan, ia malah penasaran dengan kata-kata yang baru saja Umi lontarkan. Matanya berbinar penuh tanda tanya. "Maksudnya Umi? Hati? Zaenab belum paham Umi. Umi bisa tolong jelaskan pada Zaenab?"

Umi tersenyum, merangkul Zaenab dengan pelan. "Hijrah itu seperti air sungai. Mengalir pelan, tapi mampu mengukir batu."

Zaenab hanya terdiam. Berfikir perlahan, mencoba memahami apa yang umi sampaikan.

Sementara di dalam masjid, ceramah Pak Ustadz masih berlangsung. Dengan suara tenang namun kali ini menggema, tidak terdengar samar. Mungkin karena Zaenab sudah tidak larut dalam lamunannya.

"Hijrah tidak tentang meninggalkan sesuatu, tapi tentang meninggalkan sesuatu yang lebih baik. Ini tentang keberanian untuk memilih jalan Allah, meski ada tantangan," ujarnya.

Kata-kata Pak Ustadz seolah menembus dinding masjid, menyentuh hati Zaenab, membuat Zaenab terpaku, lalu entah bagaimana, ia mulai memahami maksud Umi. Zaenab juga mulai tau apa yang menjadi tujuannya. Menjadi guru. Mengajari anak-anak membaca, menulis, dan merajut impian. Zaenab baru sadar, ia sudah melupakan mimpi itu karena cibiran dari teman-temannya yang meragukannya karena mereka pikir impian Zaenab terlalu besar.

Selesai mendengar ceramah Pak Ustadz, Zaenab berjalan pulang bersama Umi dan Abi nya. Langkahnya ringan, namun hatinya diisi tekad baru. Di tengah jalan setapak, ia berhenti sejenak.

"Umi, Abi, Zaenab mau belajar lebih giat biar bisa jadi guru. Mau ngajarin anak-anak desa, mau jadi anak yang membanggakan untuk Umi dan Abi. Zaenab juga mau jadi contoh yang baik untuk adik-adik," ujarnya dengan penuh keyakinan.

Umi dan Abi memeluk Zaenab erat, air mata haru menggenang di mata mereka. "Itu hijrahmu, Nak. Mulai dari hati, kemudian melangkah dengan doa."

Malam itu, dibawah langit penuh bintang, Zaenab memantapkan niatnya. "Aku memulai hijrahku, menjadi lebih baik untuk desa ini, untuk Allah dan untuk Umi Abi."

Tahun baru Islam menjadi saksi tekad Zaenab. Hijrah kini bukan lagi sekadar janji tahunan yang diucapkan di malam Muharram, seperti yang dulu ia gumamkan dengan penuh keraguan. Kini ia memulai hijrahnya dengan penuh keyakinan. Di bawah langit yang sama, di desa kecil yang syahdu, sebuah perjalanan baru akan dimulai.

Karya: Ratu 

Editor: Indepth