Selasa, 05 Maret 2019
Secangkir Rindu
Secangkir saja, sangat sulit untuk dihabiskan, bahkan rasanya tak pernah habis. Terdengar aneh jika aku merindukan dia yang belum tentu merindukanku. Namun tak masalah, untuk perihal rindu semua orang mempunyai hak tanpa harus memiliki SIM (Surat Izin Merindu).
Hmmm, sejenak kuhela nafasku, sesak rasanya jika harus memikirkan rindu. Bahkan rasanya aku perlu oksigen tambahan untuk meredakan sesak. Semakin sesak bila harus kufikirkan tentang ikatan yang kandas. Bukan dia yang memotong ikatan tersebut, akulah yang terlebih dahulu mengguntingnya.
Pertemuanku dengan pria lain membuatku terfikir untuk melepasnya. Aku melihat semua kebaikan Hanif, namun hanya bisa melihat semua keburukan Adnin tanpa mengingat kebaikannya. "Teman, itulah status kita" kalimat itulah yang terakhir kuucapkab pada Adnin. Meski Adnin berusaha menahanku, namun aku tetap kukuh pada keputusanku.
Mungkin sekarang Adnin telah melupakanku, mungkin bahagianya seiring dengan rasa sakitku saat ini. Baru kusadar bahwa rasaku terhadap Hanif hanya sebatas mengagumi, namun hati dan Cintaku masih mencintai Adnin.
Kurindukan saat - saat aku dan kau yang selalu menikmati senja bersama, kau yang dahulu sangat menjaga perasaanku, dan kau yang selalu menerima semua tentang aku.
Obat rindu bukanlah merenung, obatnya hanya satu yaitu "bertemu". Namun penyesalanku terlambat, ya aku menyadari kesalahanku. Sekarang yang bisa kulakukan hanyalah mendiamkan secangkir Rindu tersebut, hingga secangkir rindu-ku basi dengan sendirinya.
Denisa Arwanita
Langganan:
Postingan (Atom)