[ Artikel ]
![]() |
Sumber: Pinterest |
Imlek merupakan perayaan Tahun Baru Cina yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Perayaan ini penuh dengan tradisi dan simbolisme yang unik, dan biasanya jatuh pada bulan Januari atau Februari menurut kalender Gregorian. Perayaan Imlek di Indonesia tak jauh dari peran Gus Dur dalam memperjuangkan kebebasan untuk etnis Tionghoa.
Abdurrahman Wahid, atau yang akrab disapa Gus Dur, adalah sosok yang dikenal luas sebagai tokoh pluralisme dan kemanusiaan di Indonesia. Salah satu gelar yang disematkan pada beliau adalah Bapak Tionghoa Indonesia. Gelar ini bukan tanpa alasan, melainkan hasil dari perjuangannya yang konsisten atas nama kemanusiaan dalam memperjuangkan hak-hak kaum minoritas, termasuk etnis Tionghoa, yang selama bertahun-tahun mengalami diskriminasi di Indonesia. Dikutip dari Kompas.com pada tahun 2004, gelar tersebut diberikan langsung oleh Perkumpulan Sosial Rasa Dharma di Kleteng Tay Kek Sie, Semarang, Jawa Tengah. Gelar itu tak berlebihan mengingat beberapa sumbangsih Gus Dur untuk masyarakat Tionghoa yang tidak mendapat keleluasaan di masa pemerintahan Orde Baru.
Dilansir dari validnews.id, salah satu diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia adalah adanya Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967, yang membatasi kegiatan budaya dan adat istiadat Tionghoa. Kebijakan ini telah membelenggu ekspresi budaya Tionghoa di Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Akar persoalan ini bermula pada tahun 1966, ketika Indonesia memasuki babak baru dalam sejarah politiknya pasca peristiwa G30S/PKI tahun 1965, yang membuat situasi politik negara menjadi sangat tegang. Selama lebih dari tiga dekade pemerintahan Orde Baru, perayaan Imlek yang merupakan salah satu tradisi paling meriah dalam budaya Tionghoa terpaksa dilakukan secara tersembunyi. Semua ini dilakukan dalam upaya untuk menyamakan etnis Tionghoa dengan budaya dominan.
Dengan keberanian yang luar biasa ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden Indonesia yang keempat pada 1999 beliau mencabut Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 tahun 1967. Tidak hanya berhenti pada pencabutan kebijakan diskriminatif, Gus Dur juga mengambil langkah progresif lainnya dengan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Selain memperjuangkan hak-hak budaya, Gus Dur juga mendorong agar etnis Tionghoa lebih diterima dalam struktur sosial dan politik Indonesia. Ia berulang kali menyatakan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian integral dari bangsa Indonesia, yang memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti warga negara lainnya. Gus Dur menentang stigma dan diskriminasi yang selama ini melekat pada komunitas tersebut dan mendukung integrasi mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Langkah-langkah Gus Dur ini mendapat apresiasi luas, baik dari komunitas Tionghoa maupun masyarakat umum di Indonesia. Perjuangannya mencerminkan visi besar untuk menciptakan Indonesia yang inklusif, di mana setiap kelompok etnis, agama, dan budaya dapat hidup berdampingan dengan damai. Gelar "Bapak Tionghoa Indonesia" yang disematkan padanya menjadi bukti nyata penghormatan terhadap jasa-jasanya dalam memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Gus Dur melihat keberagaman budaya bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai kekayaan bangsa yang perlu dirayakan dan dijaga.
Karya: Content
Editor: Indepth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar