![]() |
Sumber: Artificial Intelligence |
Langit di Kabupaten Bhaskara mulai gelap. Angin sore membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan tadi siang. Di teras rumah bercat krem, Ardana duduk seraya meluruskan kakinya. Sementara Nawasena menggoyangkan kakinya dengan santai. Di antara mereka, Rakha, bocah enam tahun yang pipinya masih belepotan sisa kue, sibuk menyeruput susu dari gelasnya.
Tiba-tiba sebuah suara seolah menghantam gendang telinga mereka. Bunyi petasan meledak di jalan depan rumah membuat mereka kaget setengah mati. Rakha loncat kaget, hampir menumpahkan susunya.
"ASTAGA! SIAPA ITU?!"
Ardana terkekeh, menebak pasti anak-anak sekitar yang mulai heboh menjelang lebaran. Dari dalam rumah sebelah, suara Pak Iwan terdengar menggelegar, memprotes kebisingan.
Rakha merapat ke Nawasena, wajahnya kebingungan. Nawasena tersenyum kecil, menjelaskan bahwa besok Nyepi, jadi wajar kalau Pak Iwan ingin suasana lebih tenang. "Besok hari raya Nyepi, Pak Iwan pasti mau tenang karena ini malam Catur Brata," jelas Nawasena.
Mendengar itu, Rakha tiba-tiba teringat sesuatu dan mengernyit. "Catur Brata? Catur yang sering dimainin Paman Sangkuni yang bunda tonton itu ya?"
Ardana hampir terbatuk saking tertawanya, sementara Nawasena ikut tersenyum. "Bukan, Cil! Kebanyakan nonton Mahabharata nih kamu, jadi taunya catur dadu aja!"
Rakha cemberut, membuat Nawasena akhirnya menjelaskan. "Catur Brata itu empat pantangan utama saat Nyepi. Kita gak boleh menyalakan api atau listrik, tidak bekerja, tidak bepergian, dan tidak menikmati hiburan. Makanya harus tenang."
Rakha membelalakkan mata saat menyadari kalau itu berarti ia tidak bisa nonton televisi atau bermain ponsel. Kepanikannya semakin menjadi, seolah-olah tidak bisa hidup tanpa hiburan. Namun, sebelum ia sempat mengeluh lebih jauh, suara petasan kembali meledak, membuatnya spontan memeluk kaki Nawasena dan berteriak menyuruh orang-orang berhenti.
Ardana hanya menepuk bahunya dengan santai, meyakinkan bahwa besok tidak akan ada yang berisik karena aturan Nyepi. Rakha mendecak kesal, lalu berjanji jika ada yang tetap menyalakan petasan, ia sendiri yang akan menyuruh mereka diam.
Beberapa menit setelahnya, adzan Isya berkumandang. Ardana bangkit dan meregangkan badannya. Ia hendak bersiap-siap untuk tarawih dan menanyakan apakah Nawasena akan langsung pulang.
Nawasena mengangguk, mengingat ia juga harus bersiap menjalani Nyepi. Namun sebelum benar-benar pergi, Rakha menarik tangannya dan menatapnya dengan serius.
"Kak Nawa, kalau besok orang-orang tetap main petasan, Kakak marah nggak?"
Nawasena menatap bocah itu lembut, lalu menggeleng pelan. "Aku nggak marah, Cil. Tapi sedih."
Rakha terdiam, menunggu penjelasan.
"Soalnya, toleransi itu artinya saling menghormati," ujar Nawasena. "Aku nggak bisa marah kalau ada yang lupa, tapi kalau mereka ngerti terus tetap ganggu, berarti mereka nggak peduli sama orang lain."
Rakha tampak berpikir, lalu akhirnya mengangguk mantap. Ia berjanji tidak akan mengganggu Kak Nawa besok dan memilih bermain di dalam rumah saja.
Saat hendak berpisah, Ardana masuk ke dalam rumah sebentar, lalu kembali dengan sebuah kantong plastik kecil. Ia menyerahkannya pada Nawasena dengan senyum simpul.
"Tadi Ibu nitip ini buat kamu," ucapnya.
Nawasena membuka kantong itu. Ada kurma, sepotong dodol, dan sekotak kecil kue kering di dalamnya.
"Kata Ibu, berbagi itu nggak harus nunggu Lebaran. Buat buka puasa lusa nanti, kamu bisa makan ini," lanjut Ardana.
Nawasena tersenyum lebar, merasa hangat oleh perhatian kecil itu. "Makasih, Dhana. Besok aku nggak bisa ngomong sama kamu, jadi sebelum puasa bicara dimulai... jaga diri baik-baik ya, jangan nakal!"
Mereka tertawa sebelum akhirnya berpisah. Besok, Nawasena akan menjalani Nyepi dalam keheningan, sementara Ardana menyambut Lebaran. Tapi malam ini, mereka duduk berdampingan di bawah langit yang sama, berbagi cerita, berbagi tawa, dan yang paling penting saling menghormati serta menghargai satu sama lain.
Karya: Sight
Editor: Indepth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar