Artikel
Sumber: https://kompas.com/ |
Beberapa hari ini kita dikejutkan dengan berita peretasan yang dilakukan oleh siber ransomware. Data tersebut merupakan milik rakyat Indonesia yang terdapat di Pusat Data Nasional (PDN). PDN merupakan implementasi dari kebijakan pemerintah yakni, Peraturan Presiden No. 95 tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Dalam hal ini mereka bertanggung jawab pada penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memberikan layanan kepada pengguna SPBE secara terintegrasi.
Searah dengan Pasal 27 ayat (4) tercantum bahwa, “Pusat Data Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan sekumpulan pusat data yang digunakan secara bagi pakai oleh instansi pusat dan pemerintah daerah dan saling terhubung”. Pasal tersebut menjelaskan bahwa seluruh data terdapat di PDN.
Dikutip melalui laman video TikTok CNN Indonesia, pada (24/06) ada sekitar 282 tenant data pemerintah diretas oleh sumber cyber jenis Ransomware Brain Cipher. Namun, sejak terjadi serangan Ransomware Brain Cipher, terhitung sudah ada 5 tenant yang datanya sudah pulih dan 44 tenant yang menjadi prioritas pemulihan, karena mereka mempunyai backup data.
Selain itu dikutip melalui laman tempo.com, dalam serangan ini pelaku meminta tebusan sebesar 8 juta USD atau setara dengan 131 Miliar rupiah. Hinsa Siburian selaku Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menyampaikan bahwa data penting terkunci, tidak bisa diakses dan ada lebih dari 50 juta data warga beresiko terekspos dalam insiden ini. Peretasan pusat data ini memberi dampak serangan terhadap layanan umum seperti: layanan Elektronik Kartu Tanda Penduduk (E-KTP), Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Sistem Perpajakan, Layanan Keimigrasian, Layanan pendidikan, serta Layanan perbankan dan keuangan.
Selain itu, Hinsa Siburian juga menyampaikan terdapat kekurangan data kelola sehingga tidak memiliki back up data setelah data diretas. Apalagi data yang di Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) yang dibackup hanya 2% saja di Batam. Sehingga sekitar 98% data rakyat Indonesia tanpa dibackup. Peretasan data ini memuat Siber Ransomware meminta tuntutan pembayaran sebesar 131 Miliyar. Namun, pemerintah tidak ingin membayar tuntutan tersebut dan membiarkan data yang terdampak hilang.
Hal ini disampaikan oleh Usman Kansong selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) mengatakan bahwa, pemerintah tidak ingin memenuhi tuntutan 131 Miliar karena sudah mengamankan data tersebut dan tidak dapat di otak-atik oleh siber.
Disimpulkan bahwa kejadian ini seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia agar mementingkan rakyat Indonesia. Karena di zaman ini ancaman hadir dapat melalui mana saja termasuk kejahatan cyber seperti ini. Pemerintah dapat lebih bertanggung jawab atas semua kelalaian mereka.
Karya: Puput
Editor: Cerpen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar