Selasa, 11 November 2025

GELAR PAHLAWAN SOEHARTO, SAAT LUKA LAMA DIBALUT PITA PENGHORMATAN

[ OPINI ]


Sumber: rri.co.id

Pemerintah Republik Indonesia (RI) resmi menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, pada Senin 10 November 2025 yang bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional. 

Hal ini menuai berbagai reaksi publik. Di satu sisi pemerintah menilai bahwa Soeharto layak menerima gelar tersebut atas jasa-jasanya dalam aspek pembangunan dan stabilitas ekonomi. Namun di sisi lain tak sedikit pula pihak yang menganggap bahwa keputusan ini tidak mempertimbangan secara penuh sisi gelap rezim orde baru. 

Dikutip dari cnnindonesia.com, dua anak Soeharto yakni Siti Hardijanti alias Tutut Soeharto dan Bambang Trihamodjo mewakili pihak keluarga menerima gelar dari pemerintah. Pemberian gelar pahlawan ini tertuang dalam Keputusan Presiden RI (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

Saya rasa, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto seharusnya dipertimbangkan dengan lebih teliti dan hati-hati. Gelar ini bukan hanya sekedar simbol penghargaan dan penghormatan, melainkan juga bentuk pengakuan moral. Saya tidak menolak gelar penghormatan kepada pemimpin bangsa, tetapi saya meyakini bahwa kepahlawanan tidak seharusnya diukur dari berapa lama seseorang berkuasa atau seberapa besar jasanya dalam pembangunan, melainkan dilihat dari keberanian seorang pemimpin untuk menegakkan keadilan dan menjunjung nilai kemanusiaan.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa Soeharto adalah pemimpin yang meninggalkan jasa besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Di bawah masa kepemimpinannya Indonesia pernah menikmati masa swasembada pangan, pembangunan infrastruktur, dan pertumbuhan ekonomi yang pesat. 

Namun di balik keberhasilan tersebut sejarah juga mencatat sisi gelap dari masa pemerintahannya seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pembatasan kebebasan berpendapat, dan praktik korupsi yang mengakar selama 32 tahun pemerintahannya.

Dikutip dari tempo.co, pada masa kepemimpinannya terjadi 9 pelanggaran HAM berat seperti peristiwa penembakan misterius 1981-1985, tragedi Tanjung Priok 1984, pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1989-1998, dan pelanggaran lainnya. 

Luka-luka itu bukan sekadar catatan masa lalu, tapi trauma kolektif bangsa yang masih terasa hingga kini. Sebagai warga negara, saya sulit menerima jika gelar Pahlawan Nasional disematkan tanpa mempertimbangkan beban moral dari peristiwa-peristiwa tersebut. Kepahlawanan bukan hanya soal keberhasilan membangun, tapi juga soal bagaimana seseorang memperlakukan kemanusiaan di tengah kekuasaan.

Pemberian gelar ini menunjukkan betapa mudahnya bangsa kita melupakan masa lalu yang kelam. Bangsa yang besar seharusnya tidak menutupi luka lama dengan pita penghormatan, melainkan mengobatinya dengan kebenaran dan keberanian mengungkap masa lalunya. Mengakui kesalahan bukan berarti menghapus jasa yang telah diperbuat, melainkan menempatkan sejarah pada posisi yang jujur dan utuh.

Sebagai warga negara kita boleh menghormati jasa Soeharto, tetapi kita juga wajib mengingat para korban yang hadir dari sistem yang ia bangun. Karena pahlawan sejati bukan hanya tentang siapa yang berjasa, tetapi juga tentang siapa yang tidak menindas demi mencapai suatu keberhasilan dan kejayaan.

Karya: Sakira Aurel 
Editor: Tala

Tidak ada komentar:

Posting Komentar